Dagelan Penobatan “Raja Totok Santoso Hadiningrat”

Tiga alasan penguasa kolonial mengintervensi kekuasaan penguasa tradisional Jawa. Pertama, kasus kriminalitas marak sehingga Belanda bersikeras campurtangan dalam sistem hukum dan polisi supaya ditingkatkan.

Kedua, keprihatinan gubernur terhadap kerusuhan buruh di perkebunan milik pengusaha Eropa. Ketiga, keberhasilan Belanda dalam aksi militernya di daerah seberang menebalkan keyakinan pemerintah Gubernemen menekan kerajaan pribumi.

Secara bertahap pejabat kulit putih memeloroti kekuasaan dan wewenang raja termasuk wilayah geografis keraton dengan metode verdeel en heers (memecah belah dan taklukkan). Efeknya, empat kerajaan Jawa (Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, dan Paku Alaman) sulit bersatu.

Akrobat politik Belanda tersebut jelas menyurutkan kewibawaan raja di mata para kawula. Diperparah adanya perbedaan relasi mencolok antara residen dengan Sunan, dan residen dengan Mangkunegara. Residen sebagai wakil gubernur jenderal dipanggil oleh Sunan dengan sebutan bapa, sedangkan Mangkunegara memanggilnya kawan.

Bersamaan itu, sejarawan George D. Larson (1989) mengungkapkan, dekade kedua abad XX terjadi program reorganisasi agraria yang bertujuan memperbaiki kondisi di pedesaan dengan cara menghapus sistem tanah apanage.

Padahal, dalam teori kekuasaan Jawa klasik, raja adalah pemilik tanah di seluruh kerajaan. Hidup pula ungkapan: sakurebing langit salumahing bumi.

Artinya, semua yang ada di bawah langit dan di atas bumi menjadi milik raja. Tanah tak dikembalikan kepada pihak kerajaan, maka dampaknya wilayah kekuasaan kerajaan makin menyempit. Kenyataan ini merupakan pukulan bagi pihak pembesar kerajaan, sebab tanah merupakan sarana kekuasaan yang dimilikinya.

Pengalaman sejarah penguasa Jawa yang sejati seperti PB X maupun raja Totok di Purwerejo yang abal-abal memberi pelajaran berharga kepada kita soal kontrak politik ekonomi. PB X saat penobatan direcoki intervensi asing yang sebenarnya mengancam kedaulatan negeri dan menguras kekayaan negara.

Sedangkan Sinuhun Totok menipu rombongan anggotanya lewat kontrak (kerjasama) ekonomi gara-gara terbius bujuk rayu. Kisah seperti ‘raja’ Totok mudah sekali berulang. Mereka akan terus mencari mangsa dan mereguk keuntungan dari anggota dengan cara yang tidak terpuji alias apus-apus dengan mencari legitimasi sejarah. Agar tidak terjebak, kita harus tetap eling lan waspada, apalagi ekonomi Indonesia turun-naik, mudah bikin galau. Berinvestasi tanpa logika. (sumber : Media Indonesia/ saibumi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: