Penulis : Heri Priyatmoko
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Founder Solo Societeit
Tertawa sembari mengelus dada. Itulah reaksi publik saat melihat dagelan yang bikin heboh jagat Indonesia: raja Keraton Agung Sejagat (KAS) Sinuhun Totok Santoso Hadiningrat.
Sebelum dicokok polisi, ia membeberkan keraton bermarkas di Purworejo Jawa Tengah ini merupakan perwujudan berakhirnya perjanjian 500 tahun yang ditandatangani penguasa terakhir Majapahit Dyah Ranawijaya dengan Portugis di Malaka tahun 1518.
Tak tanggung-tanggung, legitimasi sejarah yang dipakainya adalah kerajaan terbesar zaman Mataram kuno.
Dicermati, kirab dan deklarasi KAS beberapa hari lalu rupanya melibatkan warga lintas daerah. Mereka rela menyewa mobil demi manghayubagya (meramaikan) perhelatan kerajaan fiktif itu.
Barisan pendukung berseragam laiknya para sentana (keluarga raja), bupati, dan prajurit istana di masa lampau. Dengan khidmat mengikuti upacara pembacaan dekrit dan peresmian KAS, meski akhirnya menjadi bahan guyonan oleh netizen.
Dari sudut pandang pertunjukan seni, acara kemarin terbilang sukses dan tampak agung. Tapi dari kacamata sejarah, apa yang dikerjakan ‘raja’ Totok yang didampingi permaisurinya tersebut mengarah pada lelucon semata, bukan ‘makar’ atau mbalelo. Dalam perspektif politik kekuasaan resmi, sebetulnya tidak ada yang dikhawatirkan lantaran tidak mengganggu ketentraman dan keamanan.
Hanya saja, yang dipersoalkan ialah tidak sedikit warga yang akhirnya cluluk (ngomong) terkena tipu raja gadungan itu dengan setor uang jutaan rupiah.
Terlepas dari perkara hukum, penobatan penguasa ‘istana’ di Purworejo itu menerbangkan ingatan pada penobatan raja terbesar dan terkaya di Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yaitu Paku Buwana X.
Lembaran sejarah Jawa merekam bagaimana kekalahan politik PB X, raja yang berjuluk Kaisar Jawa, justru bermula pada hari penobatannya tanggal 30 Maret 1893.
Penguasa Keraton Kasunanan didesak membubuhkan tandatangan dalam perjanjian baru dengan petinggi Belanda yang diwakili residen O.A. Burnaby Lautie (1890-1894). Dua buah kesepakatan yang kudu ditandatangani, yaitu Verklaring 25 Maart 1893 dan Acte van Verband 30 Maart 1893.
Kontrak politik tersebut melarang Sunan menjalin relasi politik dengan negara asing, kecuali Belanda. Raja juga merupakan vassal (bagian) dari pemerintah kolonial. Hal itu diatur dalam Serat Perjanjian Dalem Nata: “Kanjeng Gubernemen ing Nederlan India, kula angganggep inggilan kula kang ageng piyambak, dene ingkang sami anyepeng pangawasan ing atasipun kula terang saking Kanjeng Gubernemen wau, punika kula anggep pangageng kula, sarta kula hurmati amila tuhu tuwin amitulungiâ€.
Dalam Adatrechtbundels, Rouffaer mencatat isi perjanjian yang tertuang pada Verklaring 25 Maart 1893. Antara lain, perbaikan pengadilan, pemungutan pajak baru, penyewaan tanah kepada komunitas Eropa, kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa pengusaha asing, dan pembatasan seremoni pada pesta. Bila kontrak sampai dilanggar, Belanda berhak menarik kembali pinjaman uang yang diberikan kepada kerajaan.