Buya Syakur, Satu dari Kiai Analistis dan Berilmu Luas

Penulis : Muhammad Masrur

Peneliti di el-Bukhari Institute, Alumni Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah dan Dirasat Islamiyah UIN Jakarta

Prof Dr K.H. Abdul Syakur Yasin, MA. atau biasa disapa dengan Buya Syakur Yasin adalah sosok ulama sederhana, tawadhu dan senantiasa menghormati siapapun tanpa membeda-bedakan darimana latar belakangnya. Pesan-pesan sejuk Buya Syakur di media sosial khususnya di kanal youtube senantiasa dikunjungi ratusan ribu netizen.

Prof Dr Buya Syakur Yasin, MA

Kenapa bisa demikian? Karena wawasan, ilmu pengetahuan dan ilmu agamanya sangat luas dan tinggi. Beliau adalah sosok ulama yang senantiasa ingin berpikir terus untuk mengenalkan Islam kepada umat di dunia sebagai agama yang damai dan penuh rasionalitas.

Dengan gaya dan logat yang khas bahasa pantura, Buya Syakur menggambarkan sosok berisi ilmu dalam setiap mengikuti beliau berceramah. Beliau menjelaskan aneka persoalan yang sebenarnya cukup rumit, tapi dicoba dijelaskan dengan perlahan namun fokus.

Buya Syakur juga sosok ulama yang tidak pernah menyakiti siapapun dalam mengenalkan Islam kepada siapapun dalam setiap tausiahnya. Ia tidak menyalahkan siapapun dalam soal perbedaan pandangan soal penafsiran agama.

Dalam pengamatan penulis, sementara penulis melihat beliau seringkali tidak segera menyandarkan pandangannya ke ayat-ayat Al-Qur’an, Hadis, atau menyebut pendapat-pendapat mazhab fikih.

Ini bukan berarti beliau tidak pernah mengutip sama sekali. Namun, ada banyak yang dijelaskan beliau dari sudut pandang hikmah dan nalar berfikir.

Misalnya, salah satu ceramah yang baru-baru ini saya dengar adalah respon beliau ketika menjelaskan video dengan judul “Mengapa Khawatir dengan Masa Depan Anak”. Video tersebut memulai dengan pertanyaan seorang ibu yang menangis tersedu-sedu menjelaskan tentang sikap anaknya.

Kemudian, Buya Syakur Yasin menjawabnya – dan ini menurut saya sisi menariknya – adalah lewat menjelaskan apa sebenarnya hakikat relasi orangtua dengan keturunannya?

Simpul beliau, supaya kita ada perasaan tidak ikhlas bahkan marah kepada keturunan kita sendiri karena boleh jadi tidak sesuai sama sekali dengan yang kita inginkan.

Maka kita mulai dengan kesadaran bahwa anak hanyalah titipan Allah. Karena kita diberikan titipan, kita kemudian dianugerahi lagi rasa “kasih sayang”, pungkas beliau sehingga begitu mencintai anak.

Maka bisa dipahami dengan wajar jika orangtua ada perasaan kecewa jika anak tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Tapi, – terang beliau – itu semua bisa dikikis dengan menyadari bahwa anak adalah bagian dari makhluk yang dititipkan pada kita, dan bukan menjadi milik.

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: