Melibatkan Kaum Milenial : Menyiapkan Masa Depan Bangsa ?

Sedangkan untuk 2020 menjadi 3,5 %. Kondisi ekonomi global memang berat.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diperkirakan tidak bisa melampaui 5 %. Bila dibandingkan pertumbuhan ekonomi global dengan pertumbuhan ekonomi nasional sepertinya ekonomi nasional lebih baik.

Namun persoalannya, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya tatkala ekonomi global membaik tetapi ekonomi nasional tetap tidak baik.

Ini bisa dilihat tatkala 2017 IMF menghitung pertumbuhan ekonomi global 3,789 % dari sebelumnya 3,372 % pada 2016, sehingga ada pertumbuhan 0,42 % poin.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode yang sama hanya 0,05 % poin ( dari 5,02 %-2016 ke 5,07-2027 % ).

Analisis para Pengamat menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia tidak bisa memanfaatkan momentum saat ekonomi global maju dengan pesat.

Yang menjadi penyebab ekonomi Indonesia mengalami kelambatan antara lain melambatnya industrialisasi. Sektor manufaktur ( industri pengolahan ) mengalami kelambatan.

Seperti diketahui bersama, sektor manufaktur merupakan kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar, sekitar 20 % tahun 2018.

Analisis tajam menyimpulkan, kondisi ini terkait dengan lambatnya kita dalam menggunakan energi terbarukan. Indonesia belum memiliki visi ekonomi energi yang benar.

Dengan menggunakan energi sinar matahari, sebagai contoh, seharusnya bisa dilakukan banyak efisiensi biaya atau belanja penggunaan tenaga listrik yg sangat berperan dalam industri. Investasi yang perlu dilakukan seharusnya justru yg memiliki banyak kepentingan mendasar jauh kedepan.

Disamping infrastruktur perhubungan, seharusnya juga dibangun dengan serius fundamental ekonomi energi.

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang menggunakan sel Surya Photovoltaic (PV) guna mengubah sinar radiasi matahari menjadi energi listrik, telah diyakini akan menjadi pilihan paling tepat di masa depan.

Disamping faktor banyaknya bumi nusantara memiliki sinar matahari dibanding negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat, juga memiliki dimensi pro-lingkungan.

Aspek ekonomi pembangunan sebuah PLTS yg besar memang bisa dijadikan pertimbangan praktis tidak seriusnya pembangunan PLTS di Indonesia. Biaya investasi PLTS sedikitnya membutuhkan dana US $ 2 juta ( sekitar Rp. 26 Milyar per MWp.).

Namun demikian kedepannya, PLTS tidak memerlukan lagi biaya operasional yg besar.

Biaya yang diperlukan hanya untuk maintenance modul surya, misalnya menyiram air guna menghilangkan debu dan pemotongan rumput yang ada disekitar modul.

Melihat biaya-biaya yang telah dibelanjakan Pemerintah selama ini untuk infrastruktur, nampaknya Pembangunan PLTS-PLTS masih terjangkau dan menghemat besar biaya pemeliharaannya dibandingkan Pembangkit Listrik dengan menggunakan fosil sebagai energi primer. Sekali lagi, apalagi kalau ditambah analisis lingkungan hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: