EDITOR.ID, Jakarta,– Pengamat Sosial Anom Cahyono mengatakan kehadiran bandara Kulon Progo atau New Yogyakarta International Airport City (NYIA) sangat menguntungkan Kota Yogyakarta dan daerah Kulon Progo. Sebagai salah satu ikon kota wisata berstandar internasional, bandara ini akan memudahkan masyarakat dunia datang ke Yogya.
Terutama sekali aspek Branding Kulon Progo sebagai sebuah kota Internasional. Setelah Bandara ini selesai di bangun, perkembangan industri pariwisata Kabupaten Kulon Progo akan tumbuh pesat. Mulai dari industri hotel hingga transportasi lokal.
“Karena bila bandara ini berdiri dan berhasil, akan ada arus lalu lintas 25 juta datang dan pergi maka tak pelak Kulon Progo sebagai sebuah Kabupaten akan menjadi Kabupaten terkaya di Indonesia, ini sama saja dengan Kabupaten Badung di Bali,” ujar pria yang sehari-hari tinggal di Solo ini.
Menurut Anom, bagaimanapun Yogyakarta memiliki keuntungan sejarah sebagai sebuah kota pendidikan dan punya aspek historis kuat dalam perkembangan politik nasional. Aspek inilah yang kemudian menjadikan Yogya sebagai kota miniatur di Indonesia.
Ke depan dunia pariwisata Indonesia tidak lagi diletakkan hanya pada kota tempat melancong. Namun juga kota untuk tempat pertemuan skala internasional (MICE). “Bila “Pleasure” hanya pada weekend namun MICE bisa terjadi sepanjang hari,” kata pria yang juga penulis buku tersebut.
Sebagai kota kebudayaan yang diakui dunia internasional, Kota Yogya sering memiliki even-even MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition/ Even Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran).
Sehingga jika bandara Kulon Progo sudah dibangun dan beroperasi, MICE dipastikan berkembang hebat. Di masa Presiden Suharto dulu, MICE dipusatkan di Nusa Dua Bali. Dan ini menjadi pusat MICE paling berhasil di Indonesia.
“Dalam konteks Yogyakarta apakah MICE bisa terjadi di Kulon Progo, selain di dalam kota Yogyakarta? “Bisa saja terjadi bila para pemangku kepentingan di Yogyakarta, baik Pemda Pusat DIY maupun Pemkab Kulon Progo sudah meletakkan visi ini,” katanya.
Menurut Anom, biasanya dalam pembangunan bandara, ada yang namanya Airport City. Wilayah Airport City ini bisa diperluas lagi menjadi pertumbuhan hotel-hotel dan ruang pertemuan publik.
“Di banyak negara biasanya Airport City adalah wilayah yang dulunya lingkungan minim hunian, kemudian berkembang menjadi kota modern yang bertumbuh (urban city) biasanya dibangunlah lembaga lembaga pendidikan.
“Wilayah jasa dan perdagangan. Agar teratur, wilayah Airport City harus sudah punya “strategi ke depan” yaitu bagaimana menciptakan situasi yang teratur, apalagi Airport City menunjang pembangunan wilayah inti yaitu bandara,” katanya.
Dan Yogya sekali lagi memiliki keuntungan, sebagai “Kota Pelajar” tingkat lalu lintas bakalan lebih tinggi lagi. Apalagi bila strategi perkembangan Kulon Progo bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan ternama, memindahkan lokasi wilayah pendidikan di sekitar Kulon Progo, jelas ini akan merangsang pertumbuhan wilayah baru.
Oleh karena itu Anom mengharapkan penyelesaian bandara yang terhambat sebagian kecil penduduk yang menolak pembangunan bandara itu diselesaikan dengan gaya khas Yogyakarta, musyawarah.
“Persoalan penolakan menurut saya itu hanya situasi emosional di lapangan, hendaknya apa yang terjadi di Kulon Progo itu diselesaikan dengan cara cara komunikatif. Penyelesaian dengan pendekatan gaya wong Jogja dengan menggunakan hati,” paparnya.
Anom juga meminta otoritas pengelola bandara memberikan pemahaman yang menyadarkan bahwa memang Bandara Internasional Yogyakarta adalah sebuah dialektika sejarah atas perkembangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri.
Anom sendiri yakin jika bandara itu sudah dibangun maka Kulon Progo yang selama ini tidak dikenal masyarakat secara global akan makin dikenal. Karena bandara ini akan secara simultan mendukung narasi branding Kulon Progo sebagai “The Jewel of Java”,
“Ini akan menjadi menarik bila kemudian meletakkan arus lalu lintas di Bandara, perkembangan wilayah di sekitar bandara menerapkan strategi kebudayaan yang amat melekat di Yogyakarta,” katanya.
Inti dari strategi kebudayaan di Yogyakarta diletakkan pada inti yaitu Hamengkubuwono, dalam pemaknaan lebih dalam yaitu : “Merawat Bumi”.
“Konteks pemikiran Jawa dalam wilayah sesungguhnya diletakkan pada stabilitas, sehingga banyak nama nama Raja Jawa menggunakan pemaknaan yang mengikat seperti : Hamengkubuwono dan Paku Alam,” katanya.
Pranata inilah yang kemudian harus dirumuskan dalam persiapan pengembangan wilayah Kulon Progo sebagai kota Internasional dan kabupaten termaju di Jawa.
Strategi Branding harus menempatkan kesadaran alam pikiran orang Jawa dalam melihat dunia, serta meletakkan dinamika dan dialektika perkembangan internasional.
Apa yang bisa dikembangkan di Kulon Progo, lanjut Anom, akan membantu perkembangan di wilayah wilayah lainnya bahkan dalam radius yang amat jauh.
“Perkampungan tari di Prambanan sampai dengan kampung Batik di Tembayat, Klaten akan berpengaruh terhadap gerak majunya Kulon Progo setelah bandara dibangun,” pesannya.
Disinilah kesempatan Kulon Progo menjadi sentra terhadap kebudayaan baru setelah diuntungkan dengan pembangunan Bandara di wilayahnya, dan bagi pihak-pihak seperti Pemda DIY serta Pemkab Kulon Progo sigap dalam menentukan rencana pengembangan kota juga rencana pengembangan strategi branding yang kemudian strategi itu bisa berpengaruh dalam alam benak warga internasional.
“Perubahan adalah kodrat alam, dan manusia yang cerdas adalah yang mampu membaca perubahan sebagai pembentuk makna positif di lingkungannya,” pungkasnya. (tim)