EDITOR.ID, Jakarta,- Gerakan politik 2019 Ganti Presiden kian membuat resah publik. Penolakan pun terjadi dimana-mana di berbagai daerah. Namun para inisiator tetap nekat menggelar kegiatan kampanye tersebut. Sebetulnya ada kepentingan apakah dibalik kampanye Ganti Presiden?
Pengamat politik dan peneliti Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie menilai secara etimologis bahasa #gantipresiden2019, berbau agak bombastis.
“Bisa saja kita ingin ganti presiden tetapi budaya santun di kedepankan, ada monggo, manga dan orang Sunda menyebutnya punten,” ujar Jerry Massie pada diskusi publik Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertajuk, “Gerakan Ganti Presiden : Upaya Inkonstitusional Mengganti Presiden” di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Selasa (28/8/2018).
Tagar ganti presiden, menurut Jerry, sebetulnya bisa dilakukan terhitung sejak 1 January 2019 dimana saat Presiden tidak menjabat sebagai presiden. “Kan DCT untuk pilpres dan caleg baru dimulai pada 23 September 2018 -13 April 2019,” katanya.
Lebih lanjut Jerry mengatakan, memang ini perang politik awalnya di laut, darat dan udara. Kalau dulu di awali politik laut, darat dan kini perang di medsos yang disebut “Algoritma”.
“Bagi saya kata ganti presiden sah saja gak ada larangan. Tapi bahasanya bisa dipakai “Saya ingin presiden baru” atau I want new president, kan itu lebih elegan.
“Memang political war atau perang politik tetap berlangsung. Sampai tahun depan, bahkan dosa-dosa masa lalu dari capres dan cawapres akan diangkat seperti, isu PKI, pelanggaran HAM, China dan sebagainya.
Tetap hate speech, seracen dan SARA tetap jalan,” jelas dia.
Di Amerika saja saat president election 2016 lalu terang Jerry, hanya untuk marketing politik hampir 1,4 miliar dollar digunakan di medsos dan ada 3000 iklan di media.
“Serangan demi serangan (black campaign) Saat itu, serangan-serangan terhadap kedua kubu saling menyerang baik dari kubu Hillary maupun Trump. Saat itu Hillary di serang lewat 33 ribu email, dan keterlibatannya terkait penyerangan dubes AS di Lybia,” ujarnya.
Sedangkan Trump di serang lewat skandal dengan perempuan. Walau mereka menerapkan freedom of speech tapi tetap ada batasannya khusunya masalah SARA.
Memang dalam perspektif human right, jelas bisa saja dan dalam aspek demokrasi tapi harus sesuai koridor.
“Saya lihat kelompok tagar ganti presiden terlalu tiba-tiba dan terburu-buru atau suddenly or hurry up, in hurry seyogianya harus stay cool or take it easy. Ada beberapa poin dari gerakan ganti presiden, 1) bisa terjadi chaos apalagi dilakukan terbuka. Kan Neno ditolak di beberapa daerah di Babel dan Riau bahkan Ahmad Dani di Surabaya. 2) Bisa jadi ini menaikan brand image dari kelompok tagar tersebut 3) Ini juga bagian political branding 4) Political Imaging atau pencitraan untuk menggerus suara lawan,” tandas Jerry.
Kan survei LSI ucapnya, menunjukan tingkat elektabilitas Jokowi masih di atas 52,2 persen selisih 22,3 persen, dan yang memilih Prabowo 29,5 %. Dan 18,3% belum menentukan pilihan atau swing voters pemilih mengambang.
“Biarlah kita tetap pada koridor demokrasi dan menjaga semangat NKRI, jangan mudah terprovokasi. Jadilah pemilih yang rasional bukan apatis, skeptis maupun pragmatis, siapapun dia pasti yang terbaik,” kata peneliti politik dari Amerika ini. (tim)