Jakarta, EDITOR.ID,- Pemerintah terus mengupayakan agar industri migas Indonesia lebih atraktif. Salah satu terobosannya adalah dengan menggunakan skema bagi hasil gross split. Selama ini investasi migas di Indonesia dianggap investor kurang atraktif sehingga tertinggal dari negara tetangga seperti Malayia dan Vietnam.
Untuk itu Kementrian ESDM telah memperbaharui sistem regulasi pola bagi hasil yang awalnya kontrak bagi hasil pemerintah mendapatkan bagi hasil setelah dikurangi biaya investasi eksplorasi. Namun kini dalam aturan yang baru, pembagian hasil produksi migas tidak menghitung nilai investasi pengeboran. Namun dihitung dari awal potensi produksi yang akan dieksplorasi.
Direktur Hulu Migas Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Tunggal mengatakan, dalam pembagian hasil eksplorasi migas, pemerintah menggunakan sistem gross split sesuai Permen ESDM No.8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
“Sistem gross split ini membuat kita menemukan kontraktor yang lebih economic size dan lebih efisien, bagi hasilnya pun jadi lebih adil bagi sumber daya alam yang dikuasai negara, karena pemerintah tidak pusing dengan urusan menghitung investasi pengeboran, namun cukup membuat persentase pembagian hasil produksi, biaya investasi jadi tanggung jawab investor,” ujar Tunggal dalam Seminar Nasional The Breakthrough of Oil and Gas in Global Era yang digelar American Association of Petroleum and Geologist Chapter UPN Yogyakarta di Auditorium Fakultas Ekonomi Bisnis UPN Yogyakarta, Sabtu pagi (25/3/2017)
Skema bagi hasil gross split menjadi terobosan baru agar program di sektor hulu migas lebih efisien dan efektif. Jangka waktu dari ekplorasi hingga produksi yang sebelumnya bisa mencapai 16 tahun, diharapkan dengan skema gross split bisa dipercepat.
Upaya lainnya yang dilakukan agar industri hulu migas Indonesia menarik investor adalah penyederhanaan perizinan. Perizinan di Ditjen Migas, semula 104 perizinan dan telah disederhanakan menjadi 42. Dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan, akan disederhanakan menjadi tinggal 6 izin saja.
Pada kesempatan ini Tunggal juga mengklarifikasi tuduhan sebuah lembaga survey asing yang menyebutkan berinvestasi migas di Indonesia tidak menguntungkan. Menurut lembaga survei Global Petroleum Survey 2016, Fraser Institute menyebutkan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, iklim investasi Indonesia dinilai memiliki banyak hambatan. Diantaranya masalah fiskal, perpajakan dan stabilitas regulasi.