DI, seseorang yang banyak berkontribusi untuk negara dan menolong mereka yang tidak mampu, tidak pantas dihukum karena tuduhan korupsi.
Di kalangan Eksekutif atau penentu kebijakan, masalah DI nampaknya juga sudah menjadi sorotan. Telah muncul upaya mencari benang merah, mengapa DI yang berhasil membubarkan “Petral” dan menurunkan tarif listrik di era SBY, justru dijerat oleh kasus korupsi yang nilainya relatif kecil ?
Ada apa dengan pemerintahan Joko Widodo dengan pemerintahan SBY sebelumnya ?
Sebelum DI memenangkan perkaranya di tingkat banding, pada pertengahan Juli 2017, tak kurang seorang Luhut Panjaitan, Menteri Senior dalam Kabinet Joko Widodo, menemuinya secara khusus di kediaman DI, di Surabaya.
Pertemuan itu sendiri terjadi tak lama setelah sebuah media sosial menayangkan dokumen berupa video. Yang isinya menunjukkan peran besar DI sebagai pemilik media yang memiliki komunitas dan relawan cukup besar, mendukung Jokowi sebagai calon Presiden RI dalam Pilpres 9 Juli 2014.
Dokumen video itu seakan membuka tabir. Bahwa DI memiliki peran yang cukup strategis dan tidak kalah dengan peran mereka yang mendukung Jokowi secara terbuka dan berapi-api.
Bahwasanya DI tersisih atau terlupakan oleh Jokowi yang sudah berhasil memenangkan Pilpres 2014, hal itu merupakan sebuah isu yang menarik untuk jadi bahan kajian.
Setelah kemenangan DI di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, situasinya berubah dan cenderung berbalik. DI mulai dilihat sebagai seorang figur nasional yang punya potensi menjadi penyeimbang atau pendukung sebuah kekuatan.
Sejumlah permintaan audisi, terus mengalir ke kantor maupun ke kediamannya.
Statusnya sebagai Raja Media yang menguasai suratkabar “Radar” di lebih dari 200 kota di seluruh Indonesia, ditambah 45 buah televisi lokal, plus JPNN (Jawa Pos News Network), kelihatannya mulai diperhitungkan.
Yang memperhitungkannya bukan saja para para politisi dan pimpinan partai, tetapi termasuk pebisnis.
Eddy Widjaya, seorang pengusaha perfilman, termasuk yang memperhitungkan posisi DI. Karena di mata pengusaha asal Medan, Sumatera Utara ini, dengan kepemilikan media seperti itu, DI memiliki keunggulan yang berbeda dengan raja-raja media lainnya.
Dan atas perhitungan itulah, Eddy secara khusus terbang ke Surabaya, hanya untuk meyakinkan agar DI bersedia dia filmkan.
Alokasi waktu yang diberikan DI untuk Eddy Widjaya, tak lebih dari setengah jam. Namun Eddy Widjaya merasa mendapatkan sesuatu yang tak ternilai sekalipun untuk menemui DI, dia harus menghabiskan waktu dua hari dua malam di kota buaya tersebut.