Yogyakarta, EDITOR.ID – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Syafii Maarif menegaskan radikalisme muncul sebagai ungkapan ketidakmampuan dari kelompok-kelompok masyarakat, khususnya di tanah Arab dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemaparan ini disampaikan tokoh Muhammadiyah yang paling disegani itu menanggapi munculnya kelompok radikal berbasis agama.
“Masyarakat Arab yang masih normal atau bersumbu panjang, banyak yang memilih pergi meninggalkan tanah kelahirannya, karena tidak tahan dengan situasi politik di negaranya. Mereka justru pergi ke negara-negara yang bukan mayoritas Muslim, untuk mendapatkan kedamaian,” ujar Buya Syafii di depan ratusan peserta seminar nasional “Merajut Persaudaraan, Mengikis Sikap Intoleransi” yang digelar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Selasa (16/5) malam.
Namun celakanya, bagi orang Indonesia, semua yang berbau Arab, dianggab suci dan pasti bagus. “Bagaimana dengan tragedi Boko Haram dan ISIS? Manisfestasi dari Islam menjadi jauh berbeda. Bahkan yang menjadi pertanyaan, mengapa ISIS tidak menyerang Israel jika mereka memang menjalankan misi Islami,” tutur Buya.
“Saya bertanya-tanya, apa sebenarnya ISIS itu? Justru sesama Muslim yang diserang, sementara Israel tidak menjadi target. Lalu apa mereka itu, sementara orang Indonesia, banyak yang mengagumi ISIS,” tambahnya.
Pada kesempatan itu, Syafii Ma’arif menyatakan kelompok-kelompok yang tersingkir dari tanah Arab atau sudah kehabisan napas, justru dibawa ke Indonesia dan diterima dengan terbuka. “Mudah-mudahan ini bersifat sementara. Saya pikir, itu hanya orang-orang pinggir jalan yang gagal memahami agamanya secara tulus,” tegas Buya.
Buya Syafii juga menyayangkan di tengah maraknya intoleransi, kelompok masyarakat Indonesia yang terdidik dari perguruan tinggi, justru tidak bersuara. “Mana suara para rektor universitas negeri terkemuka di negeri ini. Mengapa berdiam diri,” tanya Buya.
Buya Syafii Maarif justru menyebutkan pernyataan Kardinal Julius yang mengajarkan umatnya untuk senantiasa menjaga cinta kasih sesama manusia sebagai sangat Islami. Bahkan Buya Syafii mengakui sulit melaksanakan ajaran cinta-kasih di era yang serba-sumbu pendek (situasi yang abnormal, Red) ini.
“Saya terenyuh, batin saya bergetar, yang disampaikan Kardinal seperti suara seorang Muslim yang belum terkontaminasi. Sementara orang Islam sumbu pendek telah membuang saya dari kelompok Islam. Kalau saya tidak kenal Alquran, maka saya pasti enggan menjadi Muslim. Tetapi Alquran yang rahmatin lil alamin tetap meneguhkan saya,” ujar sosok guru ngaji ini menanggapi paparan rohaniawan Katolik, Kardinal Julius Darmaatmadja SJ yang meminta umat tetap mengajarkan cinta kasih dan tidak membalas dendam.