Asri Hadi Dapat Kado Istimewa Buku Tentang Sosok Buya Syafii Maarif dari Penulisnya, Utami Dewi

Buku ini pada Sabtu (1/6/2024) bertepatan dengan Hari Peringatan Kelahiran Pancasila dilaunching oleh sang penulisnya di Kafe dan Galery Buku, Nathan di bilangan Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Acara launching dihadiri banyak tokoh diantaranya pengamat politik UI Fachri Ali, wartawan senior Nasir Tamara.

Ketua Dewan Redaksi EDITOR.ID, Asri Hadi juga berkesempatan ikut menghadiri bedah buku Buya Ahmad Syafii Maarif yang ditulis dan testimoni Syaefudin Simon dan Swary Utami Dewi. Asri Hadi mendapat hadiah buku Buya Syafii Maarif yang langsung ditandatangani oleh penulisnya Swary Utami Dewi.

Lalu ada pula kemarin ramai “ger-geran” di dunia pendidikan, utamanya biaya pendidikan tinggi (PT), yang menjadi sorotan karena dirasakan mahal dan tidak terjangkau bagi golongan tertentu. Dari satu webinar yang baru-baru ini kuikuti, ada pembicara yang menyatakan hanya total 13% rakyat Indonesia yang sudah menempuh pendidikan tinggi.

Sebelumnya aku menemukan data dari Kementerian Dalam Negeri, yang dikutip suatu media, bahwa jumlah penduduk Indonesia yang sudah masuk PT per 31 Desember 2022 untuk tingkat Diploma-1 dan Diploma-2 sebesar 1,11 juta orang atau 0,4% dari total penduduk Indonesia.

Lalu Diploma-3 sebanyak 3,56 juta orang atau 1,28%. Sementara Strata-1 sebanyak 12,44 juta orang atau 4,47%. Strata selanjutnya lebih sedikit lagi. Masih kecil ya, Buya? Sementara, pendidikan yang baik adalah salah satu kunci dari kemajuan bangsa. Kapan persoalan pendidikan ini bisa kita tuntaskan?

Juga ada berita beredar tentang jutaan generasi muda yang tak punya pekerjaan alias menganggur. Jikapun ada pekerjaan, menurutku, mereka bisa jadi menggeluti pekerjaan semu (pseudo) seperti menjadi pedagang kaki lima, pengemudi online dan sejenisnya. Kata seorang pengemudi online berusia 29 tahun yang kutemui beberapa hari lalu, ia lulusan Fakultas Hukum di salah satu universitas negeri di Sumatra. Karena belum dapat pekerjaan, ia menjadi pengemudi online. Yang penting baginya bisa bertahan hidup.

Belum selesai sampai di sini, Buya. Sekarang ada lagi “aturan” baru. Katanya untuk perumahan. Ada potongan wajib tiap bulan baik bagi pegawai negeri dan swasta. Sementara, rata-rata pengembang perumahan terus bisa menentukan harga rumah begitu tinggi tidak terkendali. Rumah menjadi sesuatu yang bagi banyak orang bisa jadi hanya impian belaka.

Padahal, pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak itu merupakan hak konstitusional warga negara. Tapi nyatanya masih banyak yang sulit mendapatkan haknya ini; Sementara banyak hambatan bagi negara, melalui pemerintah, untuk mau dan mampu memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Banyak lagi Buya, hal-hal yang masih harus diperbaiki.

Yang jelas, hatiku miris melihat kehidupan masyarakat bahwa yang semakin bawah. Sementara ada super-super konglomerat teratas, yang jumlah kekayaannya bisa meningkat fantastis dalam hitungan bulan. Memang betul kata Buya, bahwa Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi sila yang paling susah diwujudkan di Indonesia.

Begitulah Buya… Di sela-sela upaya dan penantian untuk Indonesia yang lebih baik, aku dan Bang Simon, akhirnya berhasil menerbitkan puluhan tulisan tentang Buya. Bukan untuk memuja. Tapi untuk mengingatkan kembali kita semua akan pikiran, perasaan, sikap dan tindakan Buya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: