Mereka adalah orang-orang yang tahu persis bagaimana para tiran dan penindas kejam telah mengabaikan suara dan hak-hak dasar rakyat biasa, seperti hak berbicara dan berkumpul.
Adalah sebuah distorsi atau penyelewengan makna yang berdampak buruk manakala demokrasi hanya direduksi menjadi sekadar “alat” saja. Sebab di dalam kata demokrasi, sejatinya ada nilai-nilai dasar, ada etika, dan bahkan ada etiket yang mesti diikuti.
Memahami demokrasi hanya sebagai alat atau instrumen sangat beresiko menciptakan sebuah sistem dan praksis yang malah bertentangan dengan nilai dasar dari demokrasi tersebut.
Ambillah contoh Pilpres dan Pemilu. Benar bahwa sampai pada tingkat tertentu keduanya adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu: memilih anggota Parlemen dan Presiden (dan Wapres) sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem politik demokrasi.
Namun jika kedua gawe tersebut hanya dianggap sebagai alat saja, maka praktik-praktik manipulatif akan dianggap sebagai suastu hal yang biasa atau normal, atau malah keniscayaan agar menang!
Maka kita lihat dalam Pemilu dan Pilpres kita yang terakhir (2019) sarat dengan praktik-praktik manipulatif, bahkan kegaduhan serta kekerasan yang belum pernah terjadi dalam sejarah demokrasi pasca-reformasi 1998.
Bagi para pembenci demokrasi kejadian kerusuhan pasca-Pemilu, yang menelan korban jiwa dan hancurnya properti, akan dipakai sebagai contoh dan alat propaganda untuk menafikan dan melecehkan demokrasi. Mereka akan menggunakan kasus ini utk menunjukkan betapa tidak efektif dan berkualitasnya sistem demokrasi bagi bangsa Indonesia!
Padahal, jika kita mau menjadi warganegara yang aktif dan well informed, maka kita akan dengan mudah mengetahui dan menganalisa mengapa peristiwa tersebut terjadi. Bukan karena demokrasi yang jelek, tetapi para pelaku demokrasi khususnya para elite politik dan parpol telah melakukan pereduksian makna dan praksis demokrasi sedemikian rupa jauhnya sehingga Pemilu dan Pilpres justru menjadi olok-olok dan bahkan menelan korban!
Sosok Penulis Muhammad AS Hikam
Prof Dr. Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam, M.A., A.P.U adalah Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Persatuan Nasional di bawah Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) dengan masa jabatan 26 Oktober 1999 – 9 Agustus 2001.
Mas Hikam panggilan akrab beliau lahir di Tuban, Jawa Timur, 26 April 1958. Ia meraih gelar sarjana pada tahun 1981 dari Universitas Gadjah Mada dan gelar doktor dari Universitas Honolulu pada tahun 1995.