Oleh : Edi Winarto*
Mantan Wartawan Ekonomi Media Indonesia 1994-1996
Kepiawaian pemimpin ketujuh Indonesia Presiden Joko Widodo dalam mengembalikan aset bangsa, Tambang emas Papua dari tangan asing, Freeport Mc Moran Amerika patut kita apresiasi.
Betapa tidak. Ini sebuah taktik dan strategi bisnis yang sangat langka terjadi. Tidak satu senpun Jokowi menggunakan uang rakyat (baca: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) untuk mewujudkan tuntutan rakyat, merebut kembali Tambang Emas dari Freeport.
Semua itu tak lepas dari talenta seorang Jokowi sebagai leader. Ia mampu meracik, mengatur langkah bidak catur dan menggerakkan putra-putra terbaik bangsa dalam negosiasi alot dengan mediator, pebisnis ulung dibelakang Freeport Mc Moran.
Jokowi bak Panglima perang yang menyiapkan “tentara” terbaiknya. Mereka harus menghadapi kehebatan jagoan mediator dan negosiator bisnis andal yang disiapkan Mc Moran Inc mempertahankan Freeport. Jokowi sangat piawai memilih “pemain” nya untuk bertanding menghadapi Mc Moran.
Keteguhan diplomasi tim “perebut” saham Freeport Indonesia ibarat tokoh-tokoh dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ketika tampil di Konferensi Meja Bundar yang digelar di Denhaag, Belanda. Saat itu tokoh seperti Muhammad Roem, Muhammad Yamin begitu ngototnya kepada Belanda untuk menuntut kemerdekaan tanpa syarat apapun.
Sulitnya perjuangan merebut PT Freeport Indonesia, perusahaan yang mengelola dan yang menguasai Tambang Emas di Timika Papua dari tangan Freeport Mc Moran bukan pekerjaan enteng.
Pasalnya, Freeport Mc Moran sang investor sudah keluar modal raksasa hingga jutaan dolar AS untuk bisa membangun teknologi eksplorasi tambang raksasa yang konon mengandung emas, tembaga dan uranium itu. Sehingga perusahaan yang didukung penuh pemerintahan Amerika itu tak akan rela tambang emasnya direbut Indonesia.
Jokowi bersama “timnya” membutuhkan waktu hingga 3 tahun, untuk merebut kembali aset kekayaan alam Indonesia itu ke tangan ibu pertiwi. Dari mulai mengancam tak akan menerbitkan kembali Ijin Pengelolaan Kuasa Tambang (IPK) Freeport.
Jokowi juga membebani berbagai persyaratan berat bagi Freeport untuk mendapatkan ijin diantaranya kewajiban membangun pabrik smelter di Gresik hingga menerbitkan UU Energi Sumber Daya Mineral yang menjadi payung hukum “menekan” Freeport dengan dalih UU tidak membolehkan asing menguasai penuh tambang Indonesia.
Tidak mudah memang untuk bisa merebut PT FI. Pasalnya perusahaan ini sudah di go publikkan di bursa Amerika sebagai “core bussiness” atau jantungnya Freeport Mc Moran. Tambang di Timika Papua adalah nyawa dari Freeport.
Jika Freeport Indonesia lepas maka perusahaan pengolah tambang asal Amerika ini kehilangan potensi pendapatannya hingga jutaan dolar AS. Maka tidak mudah untuk merebut Tambang Emas Papua dari tangan Freeport.
Keberhasilan Jokowi merebut dan menguasai kembali kekayaan alam di tanah Papua tak lepas dari kecerdikannya menjadi the leader atau juru meracik “The Dream Team”, Ignasius Jonan, Arcandra Tahar dan Sri Mulyani.
Sejak awal Jokowi sudah mampu melihat dan membaca “the golden boy” Ignasius Jonan, salah satu kreator dan arsitek pengambilalihan 51 persen saham Freeport.
Jejak rekam Ignasius Jonan sebelum dibajak dan diboyong menteri BUMN kala itu Laksamana Sukardi ke Indonesia. Jonan adalah sosok jenius asal Indonesia yang karirnya moncer di perusahaan asing Citibank di Singapura.
Jebolan Senior Managers in Government Program, Harvard Kennedy School of Government (2000) ini dipercaya menduduki jabatan direktur di perusahaan bereputasi global, Citibank untuk bidang akuisisi dan restrukturisasi perusahaan. Ia seorang finance yang brilian.
Ketika diajak ke Indonesia untuk memperbaiki perusahaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, pria yang pernah mengenyam pendidikan di Fletcher School, Universitas Tufts, Amerika Serikat ini mampu menghidupkan kembali perusahaan yang telah sekarat tersebut.
Sosok lain dibalik negosiasi Freeport adalah Archandra Tahar. Alumni S-1 di Teknik Mesin ITB ini pernah bekerja di Andersen Consulting. Jebolan Master dan Doktor dari University di Amerika ini menjadi konsultan di berbagai perusahaan internasional.
Pengalaman Arcandra nego adalah ketika ia memiliki peran dalam negosiasi dan keberhasilan Presiden Joko Widodo menarik kembali Blok Masela agar dikuasai Indonesia, dengan memutuskan eksplorasi harus dilakukan secara onshore dan bukan offshore. Arcandra memiliki hak paten tentang desain offshore di Amerika Serikat.
Archandra memiliki segudang jam terbang soal negosiasi perusahaan tambang. Ia pernah menjabat sebagai Principal dan Presiden Asia Pasific AGR Deepwater Development System: 2007–2009. Principal Horton Wison Deepwater: 2009–2013 dan Presiden Petroneering: 2013–2016.
Sosok ketiga adalah Sri Mulyani. Mantan Presiden Bank Dunia ini memiliki jaringan luas perusahaan keuangan dunia. Hal inilah yang memudahkan Jokowi mendapatkan source untuk pendanaan bagi biaya pengambilalihan Freeport Indonesia. Global bond yang diterbitkan pemerintah Indonesia direspon luar biasa lembaga keuangan dunia.
Namun kesuksesan Jokowi merebut kembali Tambang Emas Papua yang sempat digadaikan pemerintahan Era Orde Baru di tahun 1973 itu bukannya di apresiasi namun sebagian sinis dan berolok bahwa langkah Jokowi itu hanya pencitraan politik atau Jokowi hanya mengambil Freeport dari hasil mengutang.
Sungguh penulis mengelus dada dengan pandangan negatif dan sinis pihak yang memang dari awal begitu sangat membenci dan sirik dengan Jokowi.
Ada yang menuduh Jokowi melakukan kebohongan dalam pembelian Freeport dengan argumen kenapa tambang sendiri kok harus dibeli oleh kita sendiri?? Ada juga yang menuduh Jokowi membeli Freeport hanya dengan uang pinjaman asing yang akan membebani rakyat dan akan jadi milik asing.
Kedua hal tersebut adalah opini sesat dan pandangan keliru bahkan secara nalar dan logika bisnis merupakan pandangan bodoh. Jika pihak-pihak yang menuduh itu mau sedikit belajar tentang ilmu ekonomi khususnya tentang jual beli perusahaan atau capital market maka ia mungkin akan malu dengan pendapatnya yang menunjukkan betapa bodohnya dia memandang sebuah peristiwa bisnis pengambil alihan mayoritas saham FI.
Keberhasilan Presiden Jokowi mengambil alih mayoritas saham atau 51 persen saham Freeport dengan tidak perlu menggunakan anggaran rakyat (APBN) yang akan mengganggu cadangan devisa merupakan strategi level tinggi dan penulis sangat kagum cara berpikirnya.
Jokowi cukup memanfaatkan potensi finansial global sebagai pendukung rencananya. Tidak mudah meyakinkan lembaga keuangan dunia untuk mensupport rencana Jokowi tersebut. Justru disinilah kita sangat mengapresiasi strategi jitu ini. Penulis menduga keberhasilan ini tak lepas kepercayaan internasional terhadap fundamental ekonomi Indonesia dan peran sang Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dalam dunia bisnis menerbitkan global bond adalah proses bisnis yang wajar dan justru prestasi karena mampu meyakinkan pemilik uang di level internasional. Terus apanya yang disinisi atau dinyinyirin.
Apakah pinjaman global bond itu akan membebani rakyat? Jelas ini pandangan sesat dan keliru. Kenapa? Pengambilalihan Freeport bukan kerja politik tapi kerja bisnis. Bussiness of Bussiness is profesional.
Pembayaran cicilan global bond dilakukan dengan menggunakan uang hasil eksplorasi tambang emas.
Berarti negara atau rakyat tidak dapat apa-apa? Ini pandangan salah juga. Jika kita selama ini memiliki saham 9 persen, pendapatan deviden sangat kecil sehingga jika dihitung secara bisnis tidak mampu mencicil global bond.
Tapi kita punya 51 persen saham lho. Artinya kita mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Bandingkan antara 9 persen dengan 51 persen. Sehingga ketika kita mencicil pinjaman kita di global bond itu, kita masih juga meraup hasil keuntungan. Tentunya tidak semua keuntungan tambang emas kita gunakan untuk membayar utang.
Namun setidaknya, kita membeli saham tersebut secara gratis karena dibayar dengan hasil keuntungan operasional penambangannya sendiri. Inilah kecerdasan bisnis dalam proses pengambilalihan saham Freeport Indonesia.
Artinya Jokowi mendapatkan keuntungan dari operasional PT Freeport Indonesia karena menguasai 51 persen tapi Jokowi tak perlu mengeluarkan duit besar untuk membeli saham tersebut, karena saham tersebut cukup dibeli dengan dukungan dari lembaga keuangan dunia. Kalaupun kita membayar utang cukup dari hasil pertambangan tersebut.
Namun kini kita bangga karena tambang emas Papua sudah berada di tangan kita dan hasilnya bisa dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Setidaknya kita angkat topi buat Jokowi karena telah menyelamatkan kekayaan alam milik bangsa Indonesia yang ketika tahun 1973 digadaikan secara murah oleh oknum penguasa kala itu.
Jakarta, 23 Desember 2018