Agungnya Kalimat Tauhid ?Laa Ilaaha Illallah? Penghapus Dosa (Bagian-2)

ilustrasi

Oleh : Arif Rahman Hakim
Penulis Adalah Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa – Jepang Tahun 2017

EDITOR.ID, Jakarta,- Secara umum, bertauhid dipahami dengan berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah atau mengucap kalimat La ilaha illallah dengan penuh keyakinan akan maknanya.

Namun dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah mengucap kalimat tauhid saja tidaklah cukup membuat seseorang bertauhid kecuali jika ia memenuhi lima aspek teologis Islam.

Kelima aspek kalimat tauhid tersebut dijabarkan sebagai berikut:

Pertama. Seseorang harus meyakini bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan sebagai penciptanya. Tuhan ini benar-benar ada, bukan sekedar konsep atau imaginasi belaka. Keberadaannya dapat diketahui dengan keberadaan seluruh alam ini yang mustahil ada dengan sendirinya dari ketiadaan tanpa ada sosok yang merancangnya.

Dengan ini, orang tersebut sudah berbeda dengan sebagian pemikir yang mengatakan bahwa alam semesta ini tak punya Tuhan melainkan sudah ada dengan sendirinya dari unsur-unsur pembentuk, seperti tanah, air, udara dan api, atau yang mengatakan bahwa yang ada di dunia hanyalah materi yang kasat mata saja dan tak ada apa pun di balik itu.

Kedua. Seseorang harus meyakini bahwa Allah itu Tuhan yang Esa atau tunggal. Esa di sini berarti meyakini kesendirian Allah sebagai Tuhan sejak masa yang tak punya awal mula.

Dengan demikian, ia berlepas diri dari pihak-pihak yang meyakini bahwa dalam semesta ini ada dua kekuatan yang bertentangan dan saling menyeimbangkan di mana kekuatan pertama menciptakan kebaikan dan kekuatan kedua menciptakan keburukan.

Ia juga berlepas dari keyakinan sebagian orang yang meyakini ada materi kekal yang ada bersama Tuhan di mana Tuhan menciptakan alam semesta dari bahan baku materi tersebut. Dengan demikian secara pasti ia juga berlepas diri dari keyakinan yang menyatakan bahwa Allah punya saingan-saingan sebagai sesembahan.

Ketiga. Meyakini bahwa Dzat Allah pasti bukanlah materi tunggal (jauhar) atau susunan materi sedemikian rupa hingga membentuk rangkaian dan volume (jism) dan bukan pula berupa atribut-atribut temporer yang menyatu pada Dzat (?aradl) seperti: ukuran, jumlah, warna, batasan tempat, batasan waktu, mekanisme, perbuatan fisik, efek perbuatan, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, ia sudah berbeda dengan kalangan Mujassimah yang mengatakan bahwa Allah adalah jisim/sosok tiga dimensi (mempunyai panjang, lebar dan tinggi) yang menempati ruang tertentu.

Ia juga berlepas diri dari pihak yang berkata bahwa Allah bergerak dengan mekanisme (kaifiyah) tertentu atau duduk di atas Arasy dengan cara tertentu sebagaimana Raja duduk di atas singgasana. Jauhar dan ?aradl adalah sifat khas makhluk yang berkonsekuensi pada adanya awal mula dan ketidakkekalan.

Keempat. Seorang mukmin harus meyakini bahwa segala sesuatu selain Allah tidaklah ada dengan sendirinya tetapi dibuat oleh Allah sesuai kehendak-Nya. Bila Allah berkehendak menciptakannya, maka ia ada. Dan sebaliknya, bila Allah tak berkehendak menciptakannya, maka ia takkan pernah ada.

Dengan demikian, maka orang tersebut sudah berbeda dari sebagian filosof yang mengatakan bahwa keberadaan Allah menjadi sebab utama (?illah) bagi keberadaan makhluk, dalam arti bila Allah ada, maka seketika itu makhluk juga akan ada sebagai akibatnya (ma?lul) secara berurutan dan terus menerus seperti sebuah mekanisme berantai.

Keyakinan semacam ini meniscayakan adanya materi kekal yang menjadi bahan baku bagi terciptanya makhluk pertama supaya mekanisme berantai tersebut bisa terjadi dan itu tidaklah benar.

Kelima. Seorang mukmin wajib meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya yang mengatur dan mengontrol alam semesta ini. Dengan demikian, ia sudah berbeda dengan keyakinan sebagian orang yang berkata bahwa Malaikatlah yang mengatur dunia ini hingga mereka menyebutnya sebagai Dewa-dewa.

Juga berbeda dengan keyakinan beberapa astrolog yang meyakini bahwa kejadian di dunia diatur oleh pergerakan bintang dan planet tertentu, atau dengan para agnostik yang mengatakan bahwa semua kejadian di dunia diatur oleh hukum alam yang memang sudah ada dengan sendirinya di alam.

Imam al-Halimy kemudian menjelaskan bahwa kesemua aspek ini ada dalam satu pernyataan sederhana:

????? ????? ????? ??????? ????????? ??????? ?????? ???????????? ???????? ???????? ?????????? ?????? ??? ?????? ?????? ?????? ???????? ??????????????? ????????????? ???? ?????????????? ?????????????

?Sesungguhnya Allah Yang Maha Terpuji mengumpulkan seluruh aspek makna ini dalam satu kalimat, (kalimat tauhid) yakni ?Laa ilaaha illallah? ?Tiada Tuhan selain Allah? dan memerintahkan manusia untuk meyakininya dan mengatakannya?. (al-Baihaqi, Syu?ab al-Iman, I, 193)
Kalimat Tauhid yang Ternodai

Selain fenomena hijrah, akhir-akhir ini sering kita jumpai berbagai atribut bertuliskan kalimat tauhid yang seakan mengidentitaskan keagamaan seperti bendera, topi, kaos, spanduk, ikat kepala, bahkan ada pula yang di cincin dll. Atribut-atribut ini banyak dijual bebas baik offline maupun online.

Alih-alih dengan jargon mengagungkan kalimat tauhid, terkadang malah membuat keagungan kalimat tauhid tersebut ternodai. Lihat saja sering kita jumpai saat terjadi aksi masa yang membawa bendera bertuliskan kalimat tersebut terinjak-injak dan bahkan ditempatkan pada tempat yang bukan semestinya.

Berbanding terbalik dengan hal diatas, kita jarang sekali malah hampir tidak melihat lambang atau kalimat tauhid terpampang pada acara-acara di pesantren. Seperli di diacara haul, haflah akhirussanah, istigoshah, maulid dan lainnya.

Mengapa? Bukankah kalimat tauhid itu kalimat yang agung? Apa kalangan kaum sarungan kurang ghirah keislamannya? Apa mereka tidak bangga dengan ketauhidannya? Atau mereka ternyata tidak senang dengan kalimat tauhid?

Tidak juga, faktanya justru para Kyai dan santri lah yang lebih akrab dengan kalimat ini dari pada kita atau orang-orang yang gemar memamerkan simbol bendera atau ikat kepala berlafaldkan kalimat tauhid. Selain dikumandangkan lima kali sehari kala adzan, kalimat tauhid selalu diwiridkan dan diletakkan kedalam sanubari mereka secara berjamaah setiap selesai sholat.

Sering kali setelah sholat mereka melafaldkan: ?Afdhaludz-dzikri fa?lam annahu; Laa ilaaha illallaah? secara bersama-sama diwiridkan oleh imam dan makmum. Demikian lima kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil dan sholawat tambahan lainnya.

Jika demikian, mengapa jarang sekali terlihat symbol atau lambang kalimat tauhid dilingkungan pesantren?

Ikhtiyath atau sifat kehati-hatian adalah tradisi moral kalangan santri dalam berfiqih. Dalam fiqih para santri sangat berhati-hati pada segala hal. Apalagi jika kaitannya dengan kalimat tauhid, oleh kalangan santri tidak boleh sembrono meletakkan kalimat agung tersebut pada sembarang tempat.

Ada yang mengatakan bagi santri, kalimat tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, terinjak atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.

Itulah mengapa hampir tidak pernah kita temui symbol-simbol bertuliskan kalimat tauhid terpampang bebas di kalangan para santri. Karena khawatirnya jika kalimat tersebut dicetak pada pakaian seperti kaos, baju, topi, atau yang lainnya, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci.

Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu. Jika dicetak di stiker-stiker bisa saja terjatuh atau terbengkalai begitu saja.

Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu ID, baju almamater, dan lainnya karena jika kalimat ini berada di tempat-tempat tersebut sangat rawan terabaikan dan bisa saja kurang terjaga kesuciannya. Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya.
Memuliakan Kalimat Tauhid

Almarhum simbah Kyai Zainal Abidin Krapyak Jogja termasuk sosok yang sangat ketat dalam hal ikhtiyath perkara tauhid. Kalimat tauhid, bagi Mbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Quran. Bahkan menurut penuturan santrinya, dingklik (kursi kayu kecil) yang biasa digunakan untuk membaca Quran pun beliau muliakan.

Pernah suatu kali hendak salat jamaah Isya di bulan Ramadan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakang santrinya. Ketika beliau lewat, dingklik itu beliau pindah ke samping agar tidak dibelakangi.

Bahkan tulisan ?almunawwir? pun sangat beliau muliakan, sebagaimana dikisahkan oleh santri bernama Kang Tahrir, santri ndalem Mbah Zainal. Memang lazim di Krapyak, para santri membuat stiker kecil bertulis ?almunawwir community?. Fungsi stiker ini untuk menandai kendaraan santri sehingga mudah dikenali. Biasanya dipasang di spidometer, plat nomor, atau body sepeda motor.

Kang Tahrir menuturkan, Mbah Zainal tidak berkenan jika melihat ada nama ?almunawwir? kok dipasang di slebor, lebih rendah dari lutut, atau tempat-tempat lain yang kurang pantas. Biar bagaimanapun, ?almunawwir? adalah nama pesantren sekaligus nama pendirinya yang merupakan ulama besar ahli Quran Nusantara, simbah Kyai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad.

Sebegitu hati-hatinya sikap beliau terhadap nama ?almunawwir?. Lebih-lebih terhadap ayat-ayat Quran, hadits Nabi, dan kalimat tauhid. Begitulah Ikhtiyat Mbah Kyai Zainal Abidin, ayat-ayat Al Quran dan kalimat tauhid tidaklah berkibar di bendera atau ikat kepala, melainkan sudah terpatri kuat di dalam sanubari beliau.

Itulah mengapa dikarenakan begitu hebat dan agungnya kalimat tauhid, kalangan pesantren sangat berhati-hati dalam memperlakukannya. Maka dari itu nasehat bagi rekan-rekan yang gemar menunjukkan identitas keislaman dengan memasang kalimat tauhid pada benda-benda tertentu agar wajib menjaga supaya kalimat tersebut tetap terjaga dengan baik dan tidak diletakkan pada sembarang tempat. Jika di kawatirkan tidak bisa menjaga maka lebih baik untuk tidak memasangnya. Wallahu?alam Bisshawab. (Sumber artikel Pecihitam.org)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: