Pemerintah siap buka-bukaan dengan FPI di Pengadilan. Karena pemerintah memiliki alat bukti ratusan terkait kekerasan dan pelanggaran hukum yang dilakukan kelompok FPI.
Sebelumnya Pemerintah secara resmi mengumumkan pelarangan segala kegiatan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI). Salah satu hal yang menjadi alasan dan pertimbangan ialah catatan pidana yang dilakukan anggota ataupun mantan anggota FPI.
Catatan pidana anggota ataupun mantan anggota FPI dibacakan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Anggota atau eks anggota FPI disebut telah melakukan pidana umum hingga terorisme.
“Pengurus dan/atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI, berdasarkan data, sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme dan 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. Di samping itu, sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 101 orang di antaranya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap,” kata Eddy Hiariej di kantor Menko Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (30/12/2020).
Catatan pelanggaran pidana tersebut tercatat di poin kelima. Poin selanjutnya yang jadi pertimbangan, FPI dilarang berkegiatan karena kerap melakukan razia yang merupakan wewenang aparat hukum.
“Bahwa menurut penilaian atau dugaannya sendiri terjadinya pelanggaran ketentuan hukum maka pengurus dan/atau anggota FPI kerap kali melakukan tindakan razia (sweeping) di masyarakat yang sebenarnya hal tersebut menjadi tugas atau wewenang aparat penegak hukum,” ujarnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md menyatakan FPI secara dejure telah bubar pada 21 Juni 2020. FPI sudah tak punya landasan hukum sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas).
Pada tahun 2011 Lembaga sosial dan keagamaan, The Wahid Institute mengeluarkan catatan yang menyebut Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang paling banyak melakukan intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama.
Organisasi pimpinan Habib Rizieq itu tercatat melakukan 38 kali kekerasan atau sekitar 18 persen. “Kalau dilihat dari apa yang dilakukan FPI, isu yang mereka usung adalah memberantas kemaksiatan dengan cara-cara kekerasan seperti dulu pernah ada operasi kafir,” sebut Rumadi dari The Wahid Institute
Selain itu, kekerasan dengan mengatasnamakan agama ini merupakan bentuk intoleransi paling tinggi selama 2011, yaitu sekitar 48 kasus atau 25 persen.
Tindakan berikutnya yang juga tinggi adalah pernyataan dan penyebaran kebencian terhadap kelompok lain, yaitu sekitar 27 kasus atau 14 persen, pembakaran dan perusakan properti 26 kasus atau 14 persen, diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan sebanyak 26 atau 14 persen.
Jawa Barat menjadi wilayah tertinggi dengan 105 kasus atau sekitar 57 persen. Daerah berikutnya adalah Jawa Timur 17 kasus atau 9 persen, Jawa Tengah 15 kasus atau 8 persen, DKI Jakarta 13 kasus atau 7 persen, dan Riau 9 kasus atau 5 persen.