EDITOR.ID, Jakarta,- Putusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU menjadi tonggak sejarah bangsa Indonesia. Selama 77 tahun kita menunggu sebuah ibukota baru yang dilahirkan dari anak bangsa.
Dan kini sudah mendekati kenyataan. Setelah Presiden Joko Widodo dan pemerintah diberi restu oleh rakyat melalui lembaga perwakilan DPR. Kini langkah Jokowi mewujudkan Ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur sudah sah. Undang-Undang telah mengamanatkan perpindahan tersebut.
Kepindahan ibukota bukan tanpa dasar. Secara geopolitik dan visi, perpindahan ibukota adalah tuntutan yang harus diwujudkan. Jakarta sudah sangat tak layak untuk menjadi ibukota negara. Padat, macet, banjir dan sejumlah ancaman keamanan baik dari potensi bencana maupun faktor lainnya.
Indonesia harus punya pusat pemerintahan yang menjadi gerbang etalase kita terhadap bangsa di dunia. Faktor keamanan, pengembangan dan latar belakang strategi bangsa tak perlu dipublikasikan. Bahwa ada alasan-alasan mendasar ibukota Jakarta harus dipindahkan ke wilayah nusantara lainnya.
Rapat panitia kerja di DPR telah membahas beberapa hal, pertama, status IKN kelak, apakah otorita atau pemerintahan daerah khusus saja?
Kedua, mengenai pembiayaan IKN yang mana diharapkan agar jangan sampai membebani APBN. Ketiga, rencana induk atau master plan pembangunan IKN. Keempat, adalah pertanahan. Pansus DPR berharap nantinya pembangunan IKN tidak menjadi proyek mangkrak.
Dahulu, The founding father Sukarno pernah merencanakan pindah ibukota ke Palangkaraya.
Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, dalam sebuah bukunya Garry van Klinken dalam Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan pada buku Antara Daerah dan Negara (2011) menyebut pada hari rabu 17 Juli 1957 Presiden Sukarno menyusuri Sungai Kahayan yang besar di Kalimantan Tengah.
Bung Karno menyusuri wilayah tersebut sekitar 36 jam dengan diiringi sejumlah perahu. Itu pertama kalinya Sukarno memasuki tengah Pulau Kalimantan.
Waktu itu, di tempat yang disinggahi Sukarno itu hanya ada sebuah kampung kecil bernama Pahandut dengan jumlah penduduk 900 jiwa. Kawasan itu cukup terisolasi. Di tengah belantara itu Sukarno disambut dengan pekikan Merdeka.
Dalam kunjungan itu, Sukarno meletakkan batu pertama Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sebelum menjadi calon ibukota, kawasan yang kini disebut Palangkaraya itu bagian dari provinsi Kalimantan Tengah.
Menurut Wijarnaka dalam Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya (2006), Presiden Sukarno dua kali mengunjunginya. Jalan raya dengan kualitas yang sangat bagus dibangun di Palangkaraya, dengan bantuan teknisi Rusia. Tak heran jika ada Jalan Rusia.
Proyek menjadi Palangkaraya itu kemudian menguap juga di zaman Sukarno. Meski di kawasan tersebut pernah ada KODAM Tambun Bungai, era 1960an gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan bisa saja merembes ke daerah itu. Ini berbahaya bagi keamanan ibukota.
Setelah mangkrak, Kalimantan Tengah menjadi daerah sasaran Transmigrasi. Menurut Patrice Levang dalam Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia (2003), Palangkaraya merupakan gambut ombrogen terbesar di Asia Tenggara.
Bakal Ibukota Negara yang baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Lokasinya tidak berada di tengah Pulau Kalimantan dan tidak jauh dari Teluk Balikpapan.
Sebuah pelabuhan besar untuk peti kemas dibangun di dekat kawasan ibukota itu, yakni di Kariangau, Balikpapan. Dengan majunya teknologi proyek ibukota baru berpotensi untuk tidak menjadi proyek mangkrak seperti rencana ibukota di Palangkaraya dulu.
Jauh sebelum isu ibukota negara di daerah itu, kawasan yang akan menjadi kota bernama Nusantara itu adalah kawasan yang sepi. Di zaman revolusi, di sekitar kawasan itu gerilyawan Balikpapan yang melawan tentara Belanda bisa bersembunyi di daerah itu. (tim)