Siapa Sosok Penjinak Teroris?

Oleh : Gunawan Wibisono
Penulis / Pemerhati Kepolisian

Indonesia tengah berduka. Lima Bhayangkara negara gugur dalam tragedi kerusuhan di Rumah Tahanan Negara Cabang Salemba, di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Para anggota Brimob dan Detasemen Khusus Anti Teroris (Densus 88) yang tengah menjaga Rutan Mako Brimob, malam itu tak menyangka nyawa mereka akan melayang dianiaya dengan keji oleh oknum napi teroris.

Kerusuhan terjadi di Rutan Mako Brimob ketika napi teroris “memberontak” dan merusak sejumlah ruang tahanan. Aparat kepolisian dengan sigap mengisolir lokasi napi teroris yang sedang rusuh demi menjaga keamanan masyarakat di sekitar Mako Brimob.

Dalam 36 jam kerusuhan dan “pemberontakan” para Napi teroris akhirnya bisa dilumpuhkan. Meski kepolisian harus kehilangan lima anggota terbaiknya.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian sangat cerdas dan jitu dalam menangani kasus kerusuhan ini. Alumnus Akpol 1987 tersebut menggunakan soft approach dalam menghadapi kebrutalan para teroris yang menyandera anggota Densus 88.

Padahal Presiden sudah memberikan lampu hijau kepada Kapolri untuk melakukan penindakan tegas terhadap teroris yang melawan negara. Dalam artian Kapolri bisa menggunakan kekuatan senjata yang dimiliki Polri untuk menghancurleburkan para teroris.

Namun opsi tersebut tidak digunakan Kapolri. Jenderal Tito Karnavian justru memilih opsi persuasif. Mendekati, merayu dan menyadarkan para teroris yang tengah dihinggapi kemarahan.

Dan ada yang luput dari pemberitaan saat aksi teror di Mako Brimob namun punya peranan sangat besar sekali. Mereka adalah para anggota polisi yang tergabung dalam tim negosiator POLRI.

Meski sempat timbul korban di awal aksi, tim negosiator ini patut diapresiasi, bahkan dipuji. Terbukti, 10 terorris yang melakukan aksi mau meletakkan senjata, menyerahkan diri dan melepas sandera terakhir yang ada di tangan mereka.

Running teks di tv menyebutkan, mereka sempat menguasai senjata dengan jangkauan tembak 800 m. Sebuah berita yang disamarkan dengan bagus, agar tidak terjadi kepanikan.

Sebab menguasai senjata dengan jangkauan hampir satu kilometer itu sama dengan menguasai senjata jenis serbu: itu bisa AK, bisa Steyr, juga bisa SMG atau M-16. Dapat dibayangkan dampak kerusakan, kekacauan, dan kepanikan yang bisa ditimbulkan bila para pengacau ini sampai berhasil keluar!

Beruntung, mereka menyerah.

Dalam kasus penyanderaan, yang paling utama yang harus dipikirkan adalah keselamatan sandera, karena itu dibutuhkan juru runding yang handal.

Itu -kurang lebih- seperti berunding menghadapi anak kita yang nakal yang-dengan marah- menuntut sesuatu yang ia inginkan, dan permintaannya ini -harus-dipenuhi oleh orang tuanya.

Ada tiga tahapan yang harus dilalui juru runding. Pertama, Anda harus sabar dan aktif mendengarkan. Apa saja permintaan dan ancaman si penyandera, dengarkan saja. Perkara dikabulkan atau tidak permintaan itu adalah hal lain lagi.

Kedua, Anda harus ber empati dengan keadaan si penyandera. Pertanyaan ini akan diajukan juru runding, “bagaimana keadaanmu? Luka? Temanmu bagaimana? Berapa orang? Luka-luka semua? Butuh obat? Makanan? Minuman?”

Sepintas seperti memperhatikan, lunak atau bersikap mengasihani. Tetapi sebetulnya juru runding ingin tahu situasi. Penyandera yang sehat tanpa luka tentu jauh lebih berbahaya. Dan, mereka yang luka, kelaparan dan kehausan justru mempermudah untuk dilumpuhkan. Semua info ini didengar, dicatat dan langsung dievaluasi.

Berikutnya, juru runding bertindak sebagai juru pelapor bagi penyandera. Misalnya, makanan sedang disiapkan, mobil/ pesawat evakuasi (kalau penyandera minta mobil atau pesawat untuk kabur) sedang dalam perjalanan. Laporan-laporan ini yang berisi berita yang ‘menyejukkan’ dan menenangkan.

Chris Voss juru runding FBI kelas dunia wanti-wanti menyebut, “kita jangan menghakimi tindakan si penyandera dengan tudingan tindakannya benar atau salah. Jangan menggurui. Dengarkan saja. Jangan interupsi, jangan mengevaluasi dan jangan menunjukkan sikap tidak setuju pada semua ocehan si penyandera” Sabar.

Bangun hubungan perlahan-lahan sampai muncul kepercayaan si penyandera pada diri Anda. Ucapan yang tenang membawa dampak yang baik.

Tahap terakhir si juru runding akan mulai ‘menjangkau’ sanak keluarga si penyandera. Menyebut nama anak atau istri atau bahkan nama ibu.

“Mereka kirim salam. Saya sudah telepon. Anda mau ngobrol? Semua ingin ini segera berakhir dengan baik”

Bila tahapan ini mengena, biasanya sikap si penyandera akan berubah. Ini tahap kelima. Hatinya luluh. Si penyandera menyerah. Tidak mudah menahan beban yang semakin besar selama 36 jam terus menerus dengan perut lapar dan haus!

Besar kemungkinan apa yang terjadi di Mako semalam, melewati lima tahapan yang dibangun para juru runding yang hebat ini.

Korban maupun kerusakan yang lebih parah bisa dihindari.

Bagaimana bila permintaan tak dipenuhi dan si penyandera tetap ngotot? Perlahan dilakukan isolasi. Saluran air dan listrik akan diputus. Orang mungkin akan tahan bila tidak makan dua atau tiga hari, tetapi banyak orang menyerah kalau sudah kehausan!

Nah, bila tetap tak ada jalan keluar, dan semua hopeless, alternatif terakhir apa yang disebut -last resort- pun diambil.

Istilah kasarnya: lu jual, gua beli. Serbu. Sandera akan menjadi korban. Hitungan pahitnya, lebih baik satu atau dua sandera jadi korban daripada seluruh kota hancur.

Meski lima pahlawan telah gugur, harus dipuji bahwa POLRI tetap mengambil langkah persuasif. Terbukti, 10 pelaku menyerah tidak dihabisi. Salut buat jajaran Polri dan pak Jenderal Tito Karnavian !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: