Setara Temukan Anak SMA Sudah Dimasuki Paham Radikalisme

EDITOR.ID, Jakarta,- Sikap intoleransi yang dipicu ajaran yang salah menjadi langkah awal terbentuknya perilaku terorisme. Gejala ini tidak terjadi tiba-tiba melainkan karena ada celah di lingkungan masyarakat.

“Terorisme itu bertingkat, tidak serta merta seseorang jadi teroris. Tangga pertama adalah intoleransi,” ujar Direktur Riset Setara Institute, Halili di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/5/2018).

Paham intoleransi banyak dimulai dari pendidikan agama yang salah. Menurut Halili, Indonesia telah membuat kelalaian dalam dunia pendidikan selama 20 tahun. Kelalaian yang dimaksud adalah tidak memproteksi para siswa dari paham-paham radikal.

“Kita memang melakukan kelalaian luar biasa karena tidak memproteksi dunia pendidikan dari virus radikalisasi,” tegasnya.

Setara membuat riset di 171 sekolah menengah atas (SMA) negeri. Hasilnya, 0,3 persen siswa terpapar sikap radikalisme. Kemudian, ada 2,4 persen siswa yang mengalami sikap intoleransi aktif.

Menurutnya, jumlah 0,3 siswa yang terpapar paham radikal dan 2,4 persen yang mengalami sikap intoleransi aktif harus mendapatkan perhatian khusus.

“Dalam konteks terorisme, satu orang itu sudah terlalu banyak. Kita harus fokus pada isu toleransi sebagai hulu terorisme,” tandasnya.

Senada dengan Halili, mantan narapidana teroris, Yudi Zulfachri mengungkapkan pola doktrin paham radikalisme dan terorisme yang saat ini berkembang di Indonesia.

Yudi mengatakan doktrin yang dipakai oleh para teroris menyebarkan paham radikal adalah doktrin tauhid.

“Doktrin dibawa ke mana? Dibawa doktrin tauhid. Dilakukan untuk pembuktian tauhid dia, pembuktian iman dia. Kita sudah mengucap syahadat belum tentu sah,” kata Yudi ditempat yang sama.

Doktrin ini, kata Yudi, mengajarkan bahwa kebencian dan permusuhan adalah syarat dari keimanan. Contoh hasil dari doktrin ini terlihat dari aksi teror di 3 gereja di Surabaya, Rusunawa di Sidoarjo dan Mapolda Riau.

“Ini bahaya generasi hari ini. Sehingga dia tiap hari muncul dari dalam dirinya. Dia lihat TNI dimusuhi, lihat Polri dia musuhi,” tegasnya.

Masyarakat yang terdoktrin biasanya cenderung kehilangan akal sehat. Hal itu terlihat dari dilibatkannya anak-anak dalam aksi teror tiga gereja di Surabaya.

“Dia doktrin kebencian permusuhan ini sangat kuat, hilang akal sehat. Anak kecil hilang akal sehat,” ungkap Yudi.

Yudi juga menyarankan aparat penegak hukum harus memisahkan napi teroris Lembaga Permasyarakatan (lapas). Sebab, jika diklasifikasi, teroris dibagi menjadi 3, yakni ideolog, pengikut, dan provokator.

“Terakhir penempatan bagi napi ada kebingungan itu harus ada pemilihan-pemilihan klasifikasi pengikut biasa, provokator atau ideolog, kalau dicampur kuat lagi,” ucap Yudi.

“Kalau dicampur saling menguatkan, ideolog kalau pengikutnya makin bbanyak dia makin kuat. Untuk menguatkan dia juga, ideolog dan provokator harus dipisah sendiri-sendiri,” sambungnya sebagaimana dilansir dari merdeka.com. (mdk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: