Muhammadiyah Larang Ustadnya Khotbah Salat Id Bernuansa Politik Praktis

EDITOR.ID, Yogyakarta,- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta agar seluruh khatib Salat Id, menyampaikan pesan ke-Islaman dengan kedamaian, rasa persaudaraan, dan berkemajuan, serta mencerahkan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir menyatakan, para khatib dan mubalig hendaknya menyampaikan khotbah dan ceramah Salat Idul Fitri 1439 H, berisi ajakan agar umat Islam senantiasa berusaha melanjutkan amal saleh selama bulan Ramadan secara lebih baik, meningkatkan ketaqwaan dengan berbuat ihsan.

“Hendaknya khotbah menyampaikan pesan moral dan keimanan untuk meningkatkan soliditas dan solidaritas sosial, serta memelihara kerukunan dan persatuan umat dan bangsa,” sebut Haedar Nashir dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/6/2018)

Dalam seruan itu Muhammadiyah juga mengingatkan para khatib dan mubalig agar tidak menjadikan khotbah dan ceramah sebagai ajang kampanye dan propaganda politik praktis pada salat id yang berlangsung pada Jumat (15/6/2018).

Muhammadiyah menyatakan Hari Raya Idul Fitri berdasar hisab hakiki wujudul hilal, Ijtimak jelang Syawal 1439 H terjadi pada hari Kamis Kliwon (14/6/2018) pukul 02:45:53 WIB.

“Jangan menyampaikan materi yang berpotensi menimbulkan kontroversi dan disharmoni sosial, politik, dan agama baik intern maupun antarumat beragama. Dalam penggunaan media sosial Muhammadiyah meminta masyarakat semakin cerdas, dewasa, dan berkeadaban,” ujarnya.

Selain itu Haedar Nashir juga mengatakan media sosial harus digunakan sebagai ajang silaturahmi, peduli dan berbagi, dan mengembangkan pengetahuan.

“Untuk itu, jauhi hal-hal yang menyebabkan kebencian, dusta, dan permusuhan agar kehidupan di masyarakat tetap terjaga dengan damai dan rukun. Mari, bersama kita melaksanakan ibadah yang tenang, aman, dan tertib,” sebut Haedar Nashir.

Masyarakat hendaknya bersilaturrahmi dengan saling mengunjungi dan kerelaan memaafkan untuk meningkatkan harmoni, kerukunan, persatuan, dan persaudaraan umat dan bangsa, bukannya untuk saling mencaci.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Majelis Dakwah Indonesia DIY, Cholid Mahmud. Penceramah dalam hari besar umat Islam tidak berpolitik praktis.

Menurut dia, meski berpolitik menjadi salah satu hal yang disampaikan dalam Alquran namun para penceramah tidak boleh terlibat dalam politik praktis dan menyampaikannya saat ceramah.

Jika tetap mengarah ke politik praktis, menurut Cholid, masyarakat berhak menolak.

“Masyarakat tidak mendapat kemaslahatannya, jadi mending tidak usah disampaikan. Tapi saya kira menurut pandangan pribadi tidak akan ada ceramah yang memuat ujaran kebencian atau politik praktis,” ungkapnya. (tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: