Gerilya Klandestein Dibalik Rusuh 22 Mei

Operasi rahasia dilakukan dengan senyap. Diskenario, disetting by design dan dirancang dengan rapi. Namun polisi sekarang adalah polisi yang cerdas dan profesional. Gerakan gerilya klandestein mereka dipatahkan satu persatu. Permainan bidak catur dimainkan. Siapa yang berhasil?

Polisi sekarang ini adalah polisi modern yang bergerak dengan insting dan daya naluri kuat untuk membaca gerakan yang ingin merongrong NKRI.

Mengutip dari laporan utama Majalah Tempo temuan-temuan di lapangan saat demo 22 Mei, sungguh mengerikan.

Majalah Tempo dengan detail menjabarkan bagaimana peran eks Danjen Kopassus, Soenarko, merancang kerusuhan dengan metode “bunuh senyap”. Sudah ada dua eksekutor yang terdeteksi, dan mereka sekarang sedang dikejar polisi.

Rencana Soenarko dengan memanfaatkan sniper untuk membunuh beberapa orang supaya demo semakin rusuh, rupanya hanya Plan A. Meski Soenarko ditangkap, Plan B tetap berjalan.

Kuncinya, harus ada korban jiwa.

Dan bergelimpanganlah nyawa 8 orang dari pihak pendemo terkena tembakan peluru tajam.

Pertanyaan kemudian bergelayut. Siapa yang melakukan penembakan misterius itu sementara aparat polisi tidak dibekali senjata berpeluru tajam, sedangkan Soenarko sudah ditangkap?

Profesor Hermawan Sulistyo, guru besar ahli dan peneliti dalam bidang militer dan keamanan negara LIPI, menemukan bukti yang mencurigakan dari 8 korban yang meninggal itu.

“Semua tembakan single bullet, atau mati dengan satu peluru saja…” kata Profesor.

Bayangkan, ketika mereka sedang asik-asik demo, tiba-tiba dari belakang ada yang menempelkan pistol di leher mereka belakang telinga dan “dor !” satu tembakan langsung ditempat mematikan. Mereka dieksekusi jarak dekat. Tragis !

Dari jenis pelurunya, diduga pistol yang menembak jenis Glock, pistol yang sering dipakai para Jenderal.

Dan menariknya lagi, kata Hermawan, pihak Rumah Sakit ketika dibawakan korban meninggal asal main terima saja. Tidak bertanya dengan curiga kepada pembawa mayatnya. Bahkan tidak segera menghubungi polisi agar bisa diketahui mereka meninggal di TKP mana.

Sesudah ada korban mati, Plan C pun dilaksanakan. Ratusan selongsong peluru disebarkan dijalan dan difoto oleh banyak orang dengan narasi di media sosial disebarkan oleh mereka, “Lihat peluru tajam polisi !”

Anehnya, selongsong itu dibawa dengan kantong kresek plastik. Jelas ada yang ingin melakukan propaganda bahwa polisi memang menggunakan senjata tajam.

Sebelum demo 22 Mei, polisi sendiri sudah membekuk puluhan teroris yang siap meledakkan diri di tengah para pendemo yang dibayar 300 ribu sampai 500 ribuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: