Bawaslu Pemalas dan Melawan Kehendak Rakyat

Oleh : Nyoman Winata

Ada dua keputusan Badan Pengawas Pemilu yang memicu kontroversi. Pertama soal dugaan mahar pencalonan Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden. Kedua soal diloloskannya bakal caleg koruptor.

Argumentasi Bawaslu, kedua keputusan tersebut telah sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Soal dugaan mahar yang menyeret nama Sandiaga Uno, keputusan Bawaslu didasarkan pertimbangan tidak didapatkan cukup bukti. Tentu saja tidak didapatkan cukup bukti karena pemanggilan Sandiaga Uno oleh Bawaslu diabaikan.

Uniknya, Bawaslu tidak menunjukkan kegigihan mengusut kasus yang cukup mengguncang public hingga keluar frasa “ Jenderal Kardus”. Angka maharpun disebutkan dengan gamblang yakni Rp 500 miliar per Parpol.

Kewenangan yang dimiliki Bawaslu berdasarkan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebenarnya sudah jauh lebih kuat. Pada dugaan adanya pelanggaran administrasi pemilu, pada pasal 461 ayat (4) Bawaslu diberikan kewenangan melakukan investigasi.

Dalam kasus dugaan mahar, ketika pemanggilan kepada yang dapat memberikan keterangan gagal, maka Bawaslu semestinya melakukan investingasi untuk dapat menemukan bukti-bukti.

Menghentikan kasus dugaan mahar dengan alasan tidak cukup bukti berdasarkan kegagalan melakukan pemanggilan, menunjukkan malasnya komisioner Bawaslu melaksanakan UU.

Pemahaman Bawaslu terhadap UU Pemilu yang sangat administratif juga melukai hati rakyat pada kasus diloloskannya caleg koruptor. Bawaslu berdasarkan sidang ajudikasi yang dilakukan hanya menggunakan argumentasi saksi ahli dari pihak penggugat sebagai dalil keputusannya.

PKPU secara hirakhis hukum memang berada di bawah UU. Dalam UU Pemilu pada pasal 240 ayat (1) point (g) disebutkan persyaratan caleg jika mereka pernah dipenjara dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun boleh mencalonkan diri dengan syarat mengumumkannya ke publik bahwa mereka adalah mantan terpidana.

Hanya saja Bawaslu dengan secara kaku memahami UU, justru mengabaikan kehendak publik yang sangat besar untuk melawan korupsi .

Keputusan meloloskan caleg koruptor disisi lain mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum. Ketika PKPU telah dijalankan dan ditaati oleh hampir sebagian besar stakeholder pemilu seperti KPU dan Parpol, Bawaslu tiba-tiba mementahkannya.

Keputusan Bawaslu “menggugurkan” roh PKPU soal larangan koruptor nyaleg. Bawaslu memposisikan diri melawan kehendak rakyat yang ingin melawan para koruptor. (***)

*Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: